My Friends Hot Mom

CeritaNakal kali ini menceritakan kisah dari siswa SMA ini yang mendapatkan jackpot dari pesta di rumah temannya, yuk simak aja ceritanya sekarang.

Saya Ello, seorang siswa SMA swasta di kota X, berusia 18 tahun. Saya punya kebiasaan masturbasi, mungkin sekali sehari. Teman terbaik saya adalah seseorang yang hampir setiap hari saya temui. Saya sering main ke rumahnya, dan di sana saya sering bertemu dengan ibunya, Tante Nina. Usianya sekitar 36 tahun, tapi tubuhnya masih seperti gadis berusia 20-an montok dan menarik. Saya sering membayangkan Tante Nina saat masturbasi.

Suatu hari, kami dan teman-teman sekolah mengadakan pesta barbeque di rumah teman saya. Sambil menunggu teman lain yang belum datang, kami bermain dadu. Karena terlalu bersemangat, saya melempar dadu terlalu keras hingga jatuh ke arah kamar Tante Nina. Dengan malas, saya pergi mengambilnya. Saat itulah saya melihat pemandangan yang membuat jantungan: Tante Nina hanya mengenakan celana dalam. Saya langsung tergoda, tapi buru-buru keluar sambil berusaha menenangkan diri. Sepanjang permainan dadu berikutnya, pikiran saya dipenuhi bayangan tubuh Tante Nina.

Tak lama, Tante Nina keluar dari kamar. Kami serentak menyapanya, tapi saya tak berani menatapnya, merasa malu dan takut karena kejadian tadi. Setelah permainan selesai, kami bersiap ke luar untuk barbeque. Tiba-tiba, Tante Nina meminta saya menemaninya ke rumah lamanya untuk mengambil barang. Dengan gugup, saya mengiyakan. Sepanjang perjalanan, saya tak bisa berhenti memperhatikan gerak pinggulnya, dan hasrat saya semakin kuat.

Sesampai di rumah lama yang berdebu tapi rapi, Tante Nina tiba-tiba bertanya, “Apa yang kamu lihat tadi saat ambil dadu?” Saya terkejut, berusaha mengelak, “Saya tidak lihat apa-apa, Tante.” Tapi dia mendesak, “Jangan bohong, atau Tante laporkan kamu!” Dengan terbata, saya mengaku melihatnya berganti baju, tapi tidak jelas. Lalu, dengan nada menggoda, dia bertanya, “Mau lihat lagi?” Saya, seperti mendapat kesempatan emas, menjawab, “Kalau Tante izinkan, saya mau.”

Tante Nina diam sejenak, lalu menyuruh saya mendekat. Dengan hati-hati, saya mendekatinya. Tiba-tiba, dia menarik tangan saya dan mencium bibir saya. Saya membalas ciumannya, tapi tangan saya kaku karena tegang. Berbeda dengan Tante Nina, tangannya lincah menyentuh tubuh saya, membuat saya semakin terbawa suasana. Dia membuka celana saya dan mulai memanjakan saya dengan tangannya yang lembut. Kenikmatan itu membuat saya menutup mata, menikmati setiap detik.

Tiba-tiba, dia berhenti. Saya memberanikan diri bertanya, “Tante, boleh saya pegang payudara Tante?” Dia tersenyum, “Terserah kamu, sayang.” Saya mulai meraba payudaranya, tapi masih dari luar baju. Karena kurang puas, saya bertanya lagi, “Boleh saya buka bajunya?” Dengan nada sedikit kesal, dia menjawab, “Kamu boleh lakukan apa saja. Tubuh saya milikmu sekarang.” Saya terbata mengucap terima kasih, dan dia meminta saya memanggilnya Nina saja, tanpa “Tante.”

Permainan berlanjut. Saya membuka kancing bajunya, dan terlihatlah payudaranya yang indah, mungkin ukuran 36A. Saya meremas dan menciumnya, membuat Nina mendesah nikmat. Setelah membuka bra-nya, saya menghisap putingnya dengan penuh gairah selama beberapa menit. Lalu, Nina berjongkok di depan saya, menurunkan celana saya, dan mulai memanjakan saya dengan mulutnya. Sensasinya luar biasa, membuat saya lupa diri. Tak lama, saya mencapai klimaks, dan Nina dengan lihai menangani semuanya.

Kemudian, dia meminta saya membalas. Saya berjongkok, menurunkan celananya, dan melihat kemaluannya yang terawat rapi. Dengan ragu, saya mulai menjelajahinya dengan lidah, menemukan tita titik kecil yang membuatnya mengerang keenakan. Setelah beberapa menit, Nina mencapai puncak kenikmatan, dan saya merasakan cairan yang keluar darinya. Saya melanjutkan hingga dia puas, lalu kami berciuman lagi, penuh gairah.

Setelah selesai, Nina tersenyum nakal dan berkata, “Kamu nakal, berani-beraninya dengan ibu temanmu.” Saya panik, tapi dia menenangkan saya, mengatakan dia menikmatinya dan meminta saya melakukannya lagi lain kali, atau dia akan melaporkan saya. Saya tersenyum, berjanji akan melayaninya lagi.

Kami buru-buru merapikan pakaian dan kembali ke pesta. Nina menjelaskan kami terlambat karena mencari kunci lemari, membuat saya lega. Di pesta, saya tak tenang, dan akhirnya masturbasi di kamar mandi sambil membayangkan Nina.

Dua minggu berlalu, dan hasrat saya malah meningkat, sampai tiga kali sehari. Suatu siang, saat pulang sekolah, pembantu memanggil saya untuk menerima telepon. Dengan malas, saya mengangkatnya. “Ello, ya?” tanya suara di ujung telepon. Saya mengiyakan, bertanya siapa. “Kok lupa sama saya?” katanya genit. Saya mulai kesal, mengancam menutup telepon. Tiba-tiba, dia berkata, “Jangan marah, nanti Tante laporkan kamu, dan nggak Tante kasih kenikmatan lagi.” Saya langsung tersadar it’s Nina.

Mendengar nada genit di telepon, saya langsung teringat kejadian dua minggu lalu. “Oh, Tante Nina, ya? Maaf, Tante, tadi saya lagi nggak mood,” ujar saya buru-buru. “Tante main-main mulu.”

Tante Nina tertawa kecil. “Nggak mood, ya? Jadi sama Tante juga nggak mood? Padahal Tante mau ajak kamu ke rumah, lagi sepi nih. Tapi ya sudah, kalau gitu…”

“Bentar, Tante!” potong saya cepat. “Kalau sama Tante, saya langsung mood! Anak Tante nggak di rumah, ya?”

“Tenang aja,” jawabnya. “Dari sekarang, jam setengah satu, sampai sore jam lima, kita aman. Jadi, datang nggak?”

“Jadi dong, Tante! Tunggu sebentar, saya ke sana sekarang!” Saya buru-buru menutup telepon, tak mau buang waktu. Dengan cepat, saya masuk kamar, ganti baju, dan berlari keluar rumah. Rumah Tante Nina cuma 15 menit jalan kaki, tapi saya memilih naik angkot biar lebih cepat.

Sesampai di sana, saya langsung menuju pintu samping yang lebih sepi. Saya ketuk pelan, dan terdengar suara Tante Nina, “Iya, sebentar!” Dia membuka pintu, mengenakan kaos longgar dan celana pendek putih yang memperlihatkan bra dan celana dalam hitamnya. Jelas sekali dia sengaja menggoda. Saya berusaha tetap tenang, meski jantungan.

Tante Nina menyuruh saya mengikutinya. Tapi begitu melihat pinggulnya bergoyang, saya tak tahan. Saya tarik dia dan langsung menciumnya. Dia membalas dengan penuh gairah, tapi tiba-tiba berbisik, “Jangan di sini, sayang.”

“Di mana, Tante?” tanya saya.

“Di kamar Tante aja,” jawabnya lembut.

Tanpa buang waktu, saya tarik tangannya dan kami bergegas ke kamar. Di sana, saya merebahkannya di ranjang. Tante Nina tampak begitu memikat. Saya menciumnya, dan dia membalas dengan hangat. Tangan saya mulai menjelajahi tubuhnya, meremas payudaranya yang masih terbungkus bra hitam. Tiba-tiba, dia mendorong saya dan dengan lincah naik ke atas tubuh saya, membuat payudaranya tepat di depan wajah saya.

Saya tak bisa menahan diri lagi. Dengan cepat, saya buka kaos dan bra-nya, lalu melumat payudaranya. “Ahh… enak, Llo… terus…” desahnya, menandakan dia sudah terbawa suasana. Tante Nina kemudian membuka baju dan celana saya, menyisakan celana dalam. Saya membalikkan posisi, kini saya di atasnya. Dengan cepat, saya turunkan celananya, memperlihatkan kemaluannya yang terawat rapi, terbungkus celana dalam hitam. Saya lepaskan celana dalam itu, dan pemandangan di depan saya begitu indah, jauh lebih memikat dari yang pernah saya lihat sebelumnya.

Dengan lembut, saya mulai menjelajahi kemaluannya dengan lidah. Tante Nina mengerang, “Aduh, nikmat… terus, Llo…” Saya tingkatkan permainan saya, dan tak lama kemudian, dia menjerit, “Saya sampai, Ndy!” Saat cairannya keluar, saya hisap hingga tuntas, menikmati setiap detik.

Dengan nafas tersengal, Tante Nina berkata, “Beri Tante istirahat dulu, ya? Nanti Tante lanjutkan.” Saya mengangguk, “Iya, Tante.”

Setelah 15 menit, Tante Nina bangkit dan melepas celana dalam saya. Kemaluan saya, yang tadinya setengah tegang, langsung mengeras begitu dia mulai memanjakannya dengan mulutnya. Dia begitu terampil, kadang menggigit pelan, membuat saya tak kuasa menahan gairah. Tak tahan lagi, saya tarik tubuhnya dan membalikkan posisi. “Tante, saya nggak tahan. Boleh saya masukkan sekarang?” tanya saya, sudah sangat terangsang.

“Terserah kamu, Ndy. Tapi hati-hati, ya, soalnya punya Tante udah lama nggak dipakai,” jawabnya.

Dengan hati-hati, saya arahkan kemaluan saya ke miliknya. Saat mulai masuk, Tante Nina menjerit, “Aduh, sakit! Pelan-pelan, Llo!” Saya juga merasa perih ini pertama kalinya saya melakukan ini. Tapi saya teruskan, perlahan memasukkan seluruhnya. Tante Nina mengerang, “Sakit… biarkan dulu di dalam, Llo…”

Setelah beberapa menit, saya mulai menggerakkan pinggul secara berirama, dan Tante Nina mengimbangi dengan goyangan pinggulnya. “Sakit, tapi enak… terus, Llo…” katanya. Saya makin terbawa, tak mempedulikan apa pun selain kenikmatan. Delapan menit kemudian, Tante Nina menjerit, “Saya sampai, Llo!” Saya merasakan cairan hangat membasahi kemaluan saya. Tak lama, saya juga mencapai puncak. “Saya sampai, Tante!” jerit saya, lalu ambruk di sampingnya, menikmati sisa-sisa kenikmatan.

Kami melakukannya tiga kali lagi dengan tempo cepat, saling memuaskan satu sama lain. Setelah mandi dan tenang, Tante Nina berkata, “Tante minta maaf, Llo. Tante udah merenggut keperawanan kamu.”

Saya tersenyum, “Nggak apa-apa, Tante. Saya rela kok. Tapi Tante harus janji kasih saya kenikmatan kayak gini lagi!”

Dia tertawa, “Tante senang banget tadi. Tante janji, asal kamu juga bikin Tante keenakan lagi.” Saya mengangguk setuju.

Hubungan kami berlangsung hampir dua tahun, selalu dengan cara sederhana kami tak suka gaya yang terlalu eksperimental. Sekarang, hubungan itu mereda karena saya kuliah di luar kota, bersama anak Tante Nina. Tapi ini tetap rahasia kami. Setiap pulang kampung saat libur, Tante Nina selalu “minta jatah”, dan saya dengan senang hati melayaninya.

Share this content:

Kumpulan cerita dewasa yang sedang viral pada saat ini. Cerita berdasarkan kisah nyata dari sumber terpercaya

Post Comment